“Urusan orang mukmin itu sungguh mengagumkan, semua hal baik
baginya, dan itu hanya terjadi pada orang yang beriman. Jika
memperoleh kesenangan dia bersyukur dan itu baik baginya, dan jika
ditimpa kesusahan dia bersabar dan itu baik baginya.” (HR Bukhari
dan Muslim)
Seorang ibu setengah baya yang masih terlihat cantik, kaya raya—karena punya
banyak perusahaan—, tokoh masyarakat yang sukses, punya suami dan anak-anak yang
mencintainya, dan segudang status “prestasi” dunia lainnya sedang terbaring di sebuah
rumah sakit kanker kelas satu. Dokter memvonis bahwa stadium sakit kankernya masih
dini alias stadium penyakitnya masih rendah dan masih punya harapan sembuh.
“Banyak-banyak berdoa dan bersabar semoga Allah swt. memberi kesembuhan pada
Ibu,” begitu kata dokter spesialis kanker.
Walau sudah dijelaskan penyakitnya masih dini, namun si ibu itu merasa dirinya
tinggal “menghitung hari” alias menunggu pulang ke rahmatullah. Ia juga berpikir
dirinya sudah tak bernilai apa-apa lagi karena beberapa hari lagi kanker itu merenggut
nyawanya. Harta yang banyak yang selama ini dikumpulkan terasa sia-sia saja. Rasa
kesal, marah, tidak menerima takdir Allah swt., menyalah-nyalahkan para dokter, dan
lain-lain campur aduk menjadi satu. “Bagaimana mungkin aku harus cepat mati?
Padahal aku belum puas menikmati hidup! Aku belum siap mati!” gumam si ibu terusmenerus.
Selang beberapa hari, si ibu kini punya teman satu kamar, pasien kanker lainnya.
Ternyata ia gadis cilik kira-kira seusia anaknya yang masih SMP. Ia datang dengan
tubuh kurus dan wajah pucat, namun selalu murah senyum. Cara bicaranya selalu
lembut, dan ia selalu berjilbab rapi. “Oh, kasihan sekali anak ini, masih kecil sudah
kena kanker,” pikir si ibu.
Lama-lama timbul keakraban di antara mereka. Mereka sering mengobrol.
Sebenarnya si ibu sering kesal karena gadis cilik ini banyak bicara masalah agama
Islam. Apalagi kalau sudah bicara tentang bersyukur, bersabar, optimis menghadapi
hidup ini, ridha Allah, dan lain-lain membuat si ibu semakin mendongkol. Tapi itu tak
berlangsung lama. Si ibu tak ngedumel sendirian lagi dan akhirnya menyukai setiap kata
yang keluar dari mulut gadis cilik. Yang paling senang bila ia diceritakan tentang
kondisi di luar rumah sakit bertingkat itu, karena kebetulan tempat tidur si gadis cilik
dekat dengan jendela. Si gadis cilik biasa menceritakan kondisi luar rumah sesudah ia
selesai tilawah Al-Qur`an beberapa halaman.
“Banyak anak kecil bermain di taman di bawah sana, pohon-pohon indah
menghijau, bunga-bunga berwarna-warni, burung-burung berkicau bersahut-sahutan,
dan di bawah sana tak banyak kendaraan yang lewat,” si gadis cillik menceritakan
kepada si ibu itu setiap pagi.
Tiga hari kemudian, di pagi hari, si ibu menanyakan kepada suster ke mana si
gadis cilik itu. Apakah ia sudah sembuh, kemudian pulang? Suster dengan menarik
napas dalam-dalam menjawab bahwa si gadis cilik itu sudah meninggal, karena
penyakit kankernya parah sekali. Si ibu begitu sedih. Lalu ia kembali minta diceritakan
kondisi indah di luar rumah sakit, tapi kali ini kepada suster. Suster juga dengan
menarik napas dalam-dalam mengatakan bahwa sebenarnya di hadapan jendela tempat
tidur almarhumah si gadis cilik tidak ada pemandangan yang indah. Yang ada hanyalah
tembok kokoh bercat putih tanpa pemandangan sama sekali!
“Lantas, mengapa gadis itu bercerita kepada saya tentang lingkungan yang indah
di bawah sana?” tanya si ibu penasaran. “Oh, itu karena dia ingin menghibur Anda, dan
membuat Anda tidak putus asa menghadapi penyakit,” jelas si suster,“dia juga titip
pesan ke saya, kalau dia minta maaf atas kesalahannya selama ini, dan pesannya juga
bahwa jangan berat hati untuk bersabar dan bersyukur kepada Allah.”
Syukur dan Sabar
Mari kita perhatikan pendapat-pendapat berikut tentang syukur dan sabar agar
kita mudah memasukan kedua hal itu dalam motivasi hidup dan manajemen diri kita
sehari-hari.
“Sungguh, nikmat itu bersambung dengan rasa syukur dan rasa syukur
itu dapat mempengaruhi penambahan nikmat. Keduanya beriringan
dalam satu kurun, maka tidak akan terputus tambahan nikmat dari Allah
hingga rasa syukur terputus dari seorang hamba.” (Ali bin Abi Thalib
r.a.)
“Kesabaran itu ada dua macam: kesabaran terhadap sesuatu yang kamu
benci dan kesabaran terhadap sesuatu yang kamu sukai.” (Ali bin Abi
Thalib r.a.)
Memperkuat Motivasi
Setiap orang apa pun agama, status sosial, dan latar belakangnya bisa saja
mempunyai motivasi hidup yang “hebat”. Tapi, bagi setiap muslim ke-“hebat”-an
sebuah motivasi harus mempunyai dua dimensi: dunia dan akhirat; memiliki ketinggian
tujuan: ridha Allah swt.; hasil pekerjaannya nanti bermanfaat bagi orang lain; dan
selaras dengan nilai-nilai keislaman lainnya yakni sesuai dengan nilai aqidah, ibadah,
dan akhlak.
Seperti dalam kisah dua orang pasien penderita kanker itu, ternyata si ibu kaya
raya (pasien pertama) yang hidupnya lebih dari cukup, nikmat hidup lainnya yang
cukup banyak, dan penyakitnya belum parah langsung menyikapi kondisi dirinya yang
sakit bukan dengan nilai-nilai keislaman. Belum mau besyukur dan bersabar, menyalahnyalahkan para dokter, serta tidak menerima takdir Allah swt. sangat jelas menunjukkan
nilai-nilai keislamannya masih rapuh, belum memperkuat motivasi hidupnya.
Sementara itu, si gadis cilik (pasien kedua) meskipun stadium penyakit
kankernya sudah tinggi, hidupnya tinggal beberapa hari lagi, tidak kaya raya seperti si
ibu itu, namun ternyata lebih mampu memahami dan menggunakan nilai-nilai
keislaman untuk memperkuat motivasi hidupnya. Hidupnya menjadi optimis, bahkan
mengajari orang lain untuk hidup optimis dan tidak putus asa.
Syukur dan sabar sebagai bagian dari nilai-nilai keislaman memang secara nyata
memperkuat motivasi hidup setiap muslim. Sungguh, hadits sahih di atas menunjukkan
betapa orang-orang beriman piawai dalam urusan hidup mereka dengan “menggunakan”
syukur dan sabar, sampai-sampai Rasulullah saw. terkagum-kagum dengan mereka.
Karena itu, apa pun kondisi yang kita hadapi, senang ataupun susah, harus menjadikan
syukur dan sabar sebagai “bahan bakar” motivasi hidup kita. Wallahu a’lam.
Wednesday, December 17, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment